CERPEN REMAJA


Gaji Terakhir

Matahari telah beranjak dari persembunyiannya. Telah siap memamerkan pesonanya.  Sinarnya telah menerangi seisi bumi, tak terkecuali kamar Iza. Sinar yang menyilaukan, memaksa mata Iza untuk membuka, tapi badannya enggan berpaling dari tempat peristirahatannya. Jam alarm juga telah berdering. Pertanda aktifitas hari itu, sudah harus dimulai.

“ Jam berapa ini?” ujar Iza sambil mematikan jam alarm yang sudah berdering dari tadi.“ Aku tidak mau meninggalkan guling ini, aku masih mau di sini,” katanya lagi, setengah sadar sambil memeluk guling kesayangannya.“ Husss, apa yang kukatakan? Kalau tidak segera bangun bisa-bisa gajiku dipotong lagi seperti bulan lalu. Aku tidak mau,” celoteh Iza sambil memukul mulutnya.

Tak ada yang ia pikirkan lagi, ia terbangun dari tempat rehatnya. Segera berlari dan menyaut handuk  yang tergantung rapi di belakang  pintu kamarnya.

Iza tinggal di sebuah kos putri di daerah ibukota. Sudah 2 tahun, ia merantau dan mengadu nasibnya di kota metropolitan. Ayahnya telah meninggal sejak ia duduk di bangku SMA. Itulah sebabnya, ia berkewajiban menghidupi ibu dan adiknya.

“ Pasti harus mengantri lagi seperti biasanya,” gumamnya, sambil melangkahkan kaki menuju tempat pemandian.

Iza tercengang. Pemandangan pagi itu tak seperti biasanya. Tempat yang biasanya seperti pasar, kini bak rumah tak berpenghuni. Antrian panjang tak memenuhi tempat itu lagi. Iza mengerutkan dahinya, agaknya sedang berpikir apa yang sedang terjadi.

“ Sudah bangun saja, Za?” tanya Bu Kokom, pemilik kos di mana Iza tinggal.
Iza terkejut, pertanyaan Bu Kokom memotong pikirannya.

“ Eee, iya Bu. Kok pemandian masih sepi aja? Anak kos yang lain kemana? Kan biasanya udah ramai,” tanya Iza terus menerus.

“ Oh. Tadi Lina, Rani, dan Ima sudah mandi. Kalau, Violin dan Risma sedang pulang kampung. Tapi, Ani, Irva, dan ... ...”

“ Eeet, ya udah deh Bu. Saya mau mandi dulu,” kata Iza, memotong perkataan Bu Kokom.

“ Kamu itu kebiasaan. Tadi tanya, sudah dijawab. Eee, malah dipotong. Dasar anak muda. Iza... Iza...,” kata Bu Kokom sambil menggelengkan kepalanya.

“ Hihihi. Maaf Bu,” pinta Iza sambil menyengir, melangkahkan kaki meninggalkan Bu Kokom yang masih terlihat kesal.

Byur... Byur.... Gemercik air begitu menyejukkan jiwa. Air yang tertampung di bak semalaman telah mengaliri seluruh tubuh Iza. Kini ia bersemangat menjalani aktifitas rutinnya.

Iza mendandani dirinya bak ratu istana. Olesan bedak di wajahnya seolah menambah pesona. Balutan baju biru muda, menggambarkan hatinya yang ceria. Tak kalah juga, sepatu berhak tinggi membuatnya tampil berbeda.

“ Hari ini, aku harus berkerja keras. Semangat Iza. Lakukan semua ini demi ibu dan adikmu. Lagi pula hari inikan gajian. Wah, tak sabar untuk menerima sebongkah harta itu. Mmm,” ujarnya sambil bercermin.

“ Sepulang kerja, aku harus segera mentransferkan gajiku untuk Ibu di kampung,” ujarnya dalam hati.

Iza telah berjanji pada ibunya untuk mengirimkan uang yang seharusnya dikirimkan bulan lalu. Tapi, apalah daya, gajinya bulan lalu hanya cukup untuk membayar uang kos dan biaya hidup selama setengah bulan saja.

Setelah memikirkan semua rencananya, Iza segera menyabet tas hitam yang berisi kertas bertinta. Kertas yang sangat menyita tenaga dan pikirannya. Kertas pekerjaan yang belum selesai dikerjakannya.

 Iza segera mengunci pintu dan pergi meninggalkan tempat yang digunakannya untuk bermalam itu.

Setelah keluar gerbang tempat kosnya, ia segera mencari ojek. Namun, tak tampak satu ojekpun pada pagi itu. 

“ Wah, kalau begini aku bisa telat lagi. Memangnya, tidak ada satupun ojek yang tersisa untukku?” gumamnya sangat kesal.

Akhirnya, Iza memutuskan untuk menumpangi taksi yang melintas tanpa batas. Tangannya melambai pada salah satu taksi berwarna putih yang berjalan menuju tempat Iza berdiri.

“ Pak, Jalan Kenari ya. PT. Bela Jaya,” minta Iza.

“ Siap Neng.”

“ Agak cepet ya, Pak. Nanti kalau telat gaji saya dipotong lagi,” pinta Iza lagi.

“ Baik Neng. Tapi, kalau pagi, Jakarta macet.”

“ Iya sih, udahlah Pak, ngebut aja,” ujarnya lagi.

Sopir taksi segera menginjak gas mobil sekuat tenaga layaknya seorang pembalap. Akan tetapi, kemacetan telah menghadang taksi putih itu.

 Ciittt... Suara rem mobil itu mengiang di telinga pengguna jalan.

“ Pak, kenapa? Kok direm?” tanya Iza kebingungan.         
              
“ Mmm, itu neng ada lampu merah. Depan macet,” jawab sopir sambil mengarahkan jari ke lampu bangjo di seberang jalan.

“ Aah, tapi ini udah jam tujuh kurang sepuluh menit. Ya udah deh, saya turun aja. Lagi pula, kantornya udah deket sini kok,” kata Iza dengan raut muka cemberut.

Iza membaca angka yang ditampilkan argo taksi itu dan segera membayarnya dengan uang pas.

“ Ini Pak. Makasih,” ucapnya sambil memberikan uang pembayaran.

“ Sama-sama Neng. Hati-hati,” kata sopir taksi memperingatkan.

Berlari menuju kantor, sudah biasa ia lakukan. Sepatu berhak tinggi terpaksa ia lepas, tak memikirkan bagaimana rupanya sekarang.

Sesampainya di kantor. Napasnya terenga-enga. Baju biru telah dibasahi keringat. Semua olesan bedak telah memudar. Bahkan, rambutnya seolah tak pernah tersentuh sisir. Orang-orang kantor, memandanginya dengan tatapan yang aneh.

Jam yang terpajang di pintu depan kantor telah menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh menit. Iza hanya bisa mengambil napas panjang. Tak percaya pengorbanannya nihil. Tak pikir apapun, ia segera masuk dan menuju meja kerjanya.

“ Telat lagi, Za?” tanya kerabat kerjanya, Riro.

“ Iya nih, Rir. Ya gini nih, kalau gak punya kendaraan sendiri. Mesti cari ojek. Yah, terima aja sih,” jawabnya, sambil menggunakan sepatu yang sempat ia lepas tadi.

“ Oh, iya. Tadi, dicariin bos tuh,” kata Riro memberitahu.

“ Hah, serius? Ada apa?” tanya Iza cemas.

“ Gak tau deh, ya udah cepet ke sana. Paling udah ditunggu,”

“ Ok. Makasih informasinya,” jawab Iza sembari meninggalkan Riro.

Ruang atasan Iza yang berada di lantai 3, harus memaksanya berjalan lagi. Ditambah lagi, lift  yang sudah dua hari ini rusak tak lekas membaik. Hal itu, membuat Iza harus menaiki anak tangga yang cukup menguras tenaganya. Napasnya kembali terenga-enga.

Sesampainya di depan pintu ruang atasannya, ia segera mengetuk pintu dan sedikit mengambil napas, berharap tak akan terjadi hal buruk.

“ Masuk!” perintah atasannya.

Iza segera membuka pintu. Ia melihat atasannya yang sudah duduk tegap di kursi kerjanya. Tampangnya menyeramkan. Tatapannya sangat sadis. Sepertinya darahnya sudah mulai naik.

“ Telat lagi? Ke mana saja?” tanya atasannya dengan nada tinggi.

       “ Iiiya Pak, maaf. Tadi tidak ada ojek, macet pula,” jawab Iza terbata-bata.

Iza hanya bisa tertunduk. Tak berani memandang atasannya yang sedang mengamuk.

“ Itu ada gaji dan surat untukmu,” ujar beliau sambil menaruh kumpulan rupiah dan amplop berwarna cokelat di atas meja.

Awalnya, mata Iza sudah mulai bersinar melihat sebongkah harta yang telah lama ia nantikan. Namun, setelah membaca surat beramplop cokelat itu, matanya mulai berkaca-kaca, bibirnya tak lagi membariskan senyuman, badannya berdiri kaku. Iza tak mampu membendung sendu di hatinya.

“ Jadi ini surat PHK? Bapak memecat saya?” tanya Iza tak percaya.

“ Iya. Perusahaan telah memecatmu. Itu gaji terakhirmu, masih sama seperti bulan lalu,” kata beliau lagi.

Tubuhnya bergetar, tak ada seucap katapun yang mampu ia lontarkan. Hanya nasib ibu dan adiknya yang terlintas di pikirannya. Rencana Iza telah hancur bak pecahan kaca. Iza membalikkan badan, pergi meninggalkan atasannya yang begitu kejam sembari berkata,

“ Anda tidak pernah tahu, untuk apa gaji ini? Banyak rencana yang telah saya angankan. Tapi, sekarang telah hancur, karena surat PHKmu dan gaji terakhir saya. Ini sungguh menyakitkan.”

Iza segera memperlebar jangkahnya. Meninggalkan tempat yang membuatnya tidak bisa bernapas bebas.

                                                                                         
                                                                                     Rifka Puspita Sari

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ARTIKEL NARKOBA MENGGUNAKAN BAHASA JAWA (PANGERTOSAN, JINIS, BEBAYA,)

JENIS-JENIS UMBI DAN MANFAATNYA SERTA PERSEBARANNYA DI INDONESIA

KEUTAMAAN SURAT AN-NAZI'AT